“ Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri (iaitu Nabi Muhammad s.a.w), yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat tamak (inginkan) kebaikan bagi kamu, (dan) ia pula menumpahkan perasaan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman. Kemudian, jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah (Wahai Muhammad): "Cukuplah bagiku Allah (yang menolong dan memeliharaku), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; kepadanya Aku berserah diri, dan Dia lah Yang mempunyai Arasy Yang besar."
( at-Taubah: 128-129 )
( at-Taubah: 128-129 )
Pertama, Min Anfusikum, dari kalanganmu sendiri.
Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Nabi berasal dari sesama manusia seperti kamu. Nabi yang datang itu bukanlah Nabi yang datang sebagai makhluk ghaib, bukan pula Superman, tapi Nabi yang datang dari tengah-tengah manusia. Bahkan Nabi diperintahkan untuk berkata bahwa Nabi adalah manusia seperti kita semua, seperti dalam ayat “Qul innamâ anâ basyârum mitslukum…” (QS. Al-Kahfi 110) Nabi adalah manusia biasa. Kalau ia berjalan, ada bayang-bayang badannya. Kalau terkena panas matahari, berkeringat kulitnya. Kalau terkena anak panah, berdarah tubuhnya. Ia bukan manusia istimewa dari segi jasmaniahnya, ia pun merasakan lapar dan dahaga. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan Nabi itu sama seperti kehidupan manusia biasa. Nabi dapat merasakan kepedihan dan penderitaan seperti manusia biasa yang mendapatkan musibah.
Pada ayat Min Anfusikum, diterangkan bahwa kata Anfus bermaksud yang paling mulia. Jadi ayat ini bermaksud, “Sudah datang di antara kamu seorang Rasul yang paling mulia.” Artinya Rasulullah diakui kemuliaannya, bahkan sebelum Rasul membawa ajaran Islam. Dia adalah orang yang paling baik di tengah-tengah masyarakatnya dilihat dari segi akhlaknya. Sebagian orang ada yang menyebutkan bahwa Rasul berasal dari kabilah yang paling baik. Jadi sifat pertama nabi adalah paling mulia akhlaknya, sampai orang-orang di sekitarnya memberi gelar Al-Amîn, orang yang terpercaya.
Kedua, berat hatinya melihat penderitaan umat manusia.
Para ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan berat hati Nabi ialah kalau manusia menemukan hal-hal yang tidak elok. Dalam riwayat yang lain, yang dimaksudkan dengan berat hati Rasul ialah jika orang Islam berbuat dosa kepada Allah. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa sampai sekarang Rasulullah masih dapat melihat perbuatan-perbuatan kita dan Rasul akan menderita jika melihat kita berbuat dosa. Karena beliau sangat ingin supaya kita memperoleh petunjuk Allah. Bahkan Rasul sampai bersujud di hadapan Allah agar diizinkan untuk dapat memberi syafaat kepada umatnya.
Ketiga, Nabi sangat ingin agar kaum muslimin memperoleh kebaikan.
Ia ingin memberikan petunjuk kepada umatnya. Keinginan untuk memberikan petunjuk kepada kita begitu besar, sehingga Rasul bersedia memikul seluruh penderitaan dalam berdakwah.
Keempat, ia sangat penyantun dan penyayang kepada orang mukmin
Menurut ahli tafsir, belum pernah Allah menghimpunkan dua nama-Nya sekaligus pada nama seorang nabi, kecuali kepada Nabi Muhammad saw. Nama yang dimaksud ialah nama Raûfur Rahîm.
Raûfur Rahîm itu adalah nama Allah. Nama itu pun dinisbahkan Allah kepada Rasulullah. Menurut sebagian ulama, Raûfun artinya penyayang dan Rahîm artinya pengasih. Jika kedua kata itu digabungkan dalam satu tempat, maka artinya berbeda. Menurut sebagian ahli tafsir, nama itu berarti sifat Nabi yang penyayang tidak hanya kepada orang yang taat kepadanya, tapi juga penyayang kepada orang yang berbuat dosa. Nabi melihat amal kita setiap hari. Beliau berduka cita melihat amal-amal kita yang buruk.
Dalam riwayat yang lain, Rasul itu Raûfun Liman Râ’ah, Rahîmun Liman Lam Yarâh. Artinya, Rasul itu penyayang kepada orang yang pernah berjumpa dengannya dan juga penyayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengannya. Suatu hari Rasul berkata, “Alangkah rindunya aku untuk berjumpa dengan ikhwânî.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini ikhwânuka.” “Tidak,” jawab Rasul, “kalian ini sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang yang tidak pernah berjumpa denganku, tapi membenarkanku dan beriman kepadaku.” Rasul sangat sayang kepada orang yang tidak pernah berjumpa dengan Rasul tetapi beriman kepadanya.
Di dalam satu Tafsir diriwayatkan , “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku, padahal tidak pernah berjumpa denganku.” Rasul menyebutnya sampai tiga kali. Rasul juga sayang bukan hanya kepada orang Islam saja, tetapi juga kepada orang kafir.
Diriwayatkan bahwa ketika Rasul berdakwah di Thaif, Rasul dilempar dengan batu sehingga tubuhnya berdarah. Kemudian Rasul berlindung di kebun Uthbah bin Rabi’ah. Rasul berdo’a dengan do’a yang sangat mengharukan. Rasul memanggil Allah dengan ucapan, “Wahai yang melindungi orang-orang yang tertindas, kepada siapa Engkau akan serahkan aku, kepada saudara jauh yang mengusir aku?” Kemudian datang malaikat Jibril seraya berkata: “Ya Muhammad, ini Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu. Dan dia tidak akan melakukan apapun kecuali atas perintahmu.” Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung itu kepada mereka.” Namun Nabi berucap, “Hai malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang-orang yang mengucapkan kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mahu menurunkan azab kepada mereka. Nabi berharap kalau pun mereka tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”
Kasih sayangnya tidak terbatas kepada umatnya. Perasaan cinta kita kepada Nabi tidak sebanding dengan besarnya kecintaan Nabi kepada kita semua. Kecintaan Nabi terhadap orang-orang yang menderita begitu besar. Menurut Siti Aisyah, Nabi tidak makan selama tiga hari berturut-turut dalam keadaan kenyang. Ketika Aisyah bertanya apa sebabnya, Nabi menjawab, “Selama masih ada ahli shufah —orang-orang miskin yang kelaparan di sekitar mesjid— saya tidak akan makan kenyang.” Dan itu tidak cukup hanya pada saat itu, Nabi juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir ada umatnya yang makan kenyang sementara tetangga di sekitarnya kelaparan.
Jesteru itu Nabi berpesan, “Tidak beriman kamu, jika kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara tetanggamu kelaparan.” Nabi pun mengatakan, “Orang yang senang membantu melepaskan penderitaan orang lain, akan senantiasa mendapat bantuan Allah swt.” Empat sifat Rasulullah kepada umatnya, yang sangat luar biasa.
Marilah kita menanam rasa kecintaan Rasulullah yang agung kepada kita dan bandingkanlah apa yang dapat membuktikan kecintaan kita kepadanya. Sekarang kita bertanya, sejauh mana kita mengikuti sunnah Rasulullah saw? Dapatkah akhlak kita seperti akhlak Nabi sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Taubah 128? Bagai-mana kita dapat ikut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita? Bagaimana kita menjadi orang yang berusaha agar orang- orang lain itu hidup bahagia dan memperoleh petunjuk Allah? Bagaimana kita menumbuhkan sikap Raûfur Rahîm di dalam diri kita seperti Rasulullah saw contohkan kepada kita?
Marilah kita sebarkan kecintaan kepada Rasulullah saw di dalam diri kita, keluarga kita, dan pada masyarakat di sekitar kita. Sering diingat bahawa misi Rasulullah yang paling utama adalah misi akhlak yang mulia. Tidak ada ertinya menisbahkan diri kita kepada Rasulullah saw tanpa memelihara akhlak yang mulia. Hendaknya kita selalu mengucapkan shalawat kepada junjungan nabi s.a.w . Kita sewajarnya merasa untuk sama-sama saling membantu sesama manusia dalan perkara kebaikan, Peduli terhadap kesengsaraan orang lain baik dalam urusan dunia atau akhirat, Penyayang terhadap umat manusia, disamping menginginkan kebahagiaan orang lain.
Nabi (s.a.w) sendiri ada menyatakan betapa pentingnya kesabaran dan penyantun itu dipunyai oleh seseorang, kerana sifat-sifat tersebut sangat disukai oleh Allah dengan sabdanya:
لاَ حِلْمَ أَحَبُّ إلى اللهِ تَعَالَى مِنْ حِلْمِ إِمَامٍ وَرِفْقِهِ وَ لاَ جَهْلَ أَبْغَضُ
إلى اللهِ تَعَالَى مِنْ جَهْلِ إِمَامٍ وَخرقِهِ
"Tidak ada kesabaran yang lebih disukai oleh Allah dari kesabaran seorang imam (pemimpin) dan penyantunnya, dan tidak ada kejahilan yang lebih dibenci oleh Allah dari kejahilan seorang imam (pemimpin) dan kebebalannya."
لاَ حِلْمَ أَحَبُّ إلى اللهِ تَعَالَى مِنْ حِلْمِ إِمَامٍ وَرِفْقِهِ وَ لاَ جَهْلَ أَبْغَضُ
إلى اللهِ تَعَالَى مِنْ جَهْلِ إِمَامٍ وَخرقِهِ
"Tidak ada kesabaran yang lebih disukai oleh Allah dari kesabaran seorang imam (pemimpin) dan penyantunnya, dan tidak ada kejahilan yang lebih dibenci oleh Allah dari kejahilan seorang imam (pemimpin) dan kebebalannya."
Allah Taala menerangkan di dalamnya kelebihan dan kasih sayang Rasulullah Sollahu’alaihiwasallam kepada umatnya. Ayat terakhir ini menerangkan kaedah untuk berdepan manusia yang berpaling dari seruan Allah Taala. Sesungguhnya seluruh perjalanan alam ini adalah bawah jagaanNya, Dia berkuasa untuk melakukan apa sahaja kepada makhlukNya. Keuntungan kepada hambaNya yang melazimi ketaatan, kerugian untuk mereka yang memilih kemaksiatan.Wallahua'lam.