“Cita-cita saya bukan membuat buku, tapi mencetak manusia,” demikian jawaban Hasan Al Banna ketika ditanya mengapa orang dengan ilmu seluas dia sedikit sekali menulis buku. Kerana tumpuan untuk mencetak manusia muslim kaffah, ia mendirikan jamaah kader yang bernama Ikhwanul Muslimin.
Gerakan da’wah yang dipimpinnya ini kemudian menjadi rujukan banyak gerakan Islam di seluruh dunia Islam, hingga sekarang. Dunia Islam patut bersyukur memiliki tokoh seperti Al Banna ini. Gerakan Al Banna yang menrangkumi pelbagai aspek kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan telah menjadi inspirasi bagi generasi Islam sesudahnya. Ia juga menjadi pembaharu Islam dalam bidang organisasi.
Ia berhasil memugar semua potensi dalam masyarakat, dari mulai buruh, usahawan, ilmuwan, dan ulama yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin di dalam satu perlindungan, ialah kitab suci Al Qur’an. Ia telah memasakkan satu model organisasi moden dalam Islam yang memuatkan seluruh aspek kehidupan.
Gerakan da’wah yang dipimpinnya ini kemudian menjadi rujukan banyak gerakan Islam di seluruh dunia Islam, hingga sekarang. Dunia Islam patut bersyukur memiliki tokoh seperti Al Banna ini. Gerakan Al Banna yang menrangkumi pelbagai aspek kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan telah menjadi inspirasi bagi generasi Islam sesudahnya. Ia juga menjadi pembaharu Islam dalam bidang organisasi.
Ia berhasil memugar semua potensi dalam masyarakat, dari mulai buruh, usahawan, ilmuwan, dan ulama yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin di dalam satu perlindungan, ialah kitab suci Al Qur’an. Ia telah memasakkan satu model organisasi moden dalam Islam yang memuatkan seluruh aspek kehidupan.
Ikhwanul Muslimin berawal dari sekelompok kecil pemuda yang bersemangat dan gelisah di Kaherah, kemudian tumbuh pesat menjadi persatuan yang kukuh dan kuat, menyebar hampir ke seluruh penjuru Timur Tengah, bahkan ke bagian dunia yang lain, paling tidak dalam hal gagasan.
Hasan Al Banna dilahirkan di desa Mahmudiyyah, propinsi Buhairah, sekitar 90 km dari Barat daya Kaherah, Mesir pada bulan Oktober 1906. Ia dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Dengan asuhan dan asahan secara Islam itulah maka ia boleh berkata, “Hanya Islamlah ayah kandungku.” Hal itu kerana rasa cintanya terhadap ajaran Islam, kerana ajaran itulah yang membentuk watak dan keperibadiannya.
Ayah kandungnya sendiri adalah Syekh Ahmad Abdurrahman yang lebih terkenal dengan panggilan Sa’ati, alias si tukang jam. Seperti diakui Hasan Al Banna, ketekunannya untuk membuat organisasi diilhami oleh cara kerja penukang jam. Setiap komponen bekerja sama, saling terikat, saling menentukan, kalau rosak salah satu komponen rosaklah jam itu. Komponen jam ada yang terlihat iaitu jarum, itulah pemimpin atau public relation (humas). Ada pula yang tidak terlihat itulah anggota, juga kelompok think tank (pemikir). “Organisasi Islam harusnya seperti itu,” menurut Hasan Al Banna.
Di samping bekerja di bengkel pembaikian jam, Syekh Ahmad Abdurrahman juga aktif mengajar. Kerana itu ia disegani oleh sejumlah besar ulama. Ia juga memiliki perpustakaan peribadi dengan aneka ragam cabang ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang ayah, Syekh Ahmad juga mencita-citakan putranya sebagai mujahid (pejuang) di samping seorang mujadid (pembaharu). Kerana itu ia menasihatkan kepada putranya (Hasan Al Banna) dengan suatu pesanan, “Barangsiapa menguasai nash, bererti ia akan menguasai disiplin ilmu.”
Jadi, sejak kecil Al Banna telah dituntut sang ayah untuk menghafalkan Al Qur’an penuh. Harapan itu tidak sia-sia. Dengan kecerdasan otaknya dan tentu dengan kehendak Allah, pada usia 12 tahun Al Banna telah menghafal separuh isi Al Qur’an. Sang ayah terus-menerus memotivasinya agar melengkapi hafalannya.
Sejak itu Al Banna mendisiplinkan kegiatannya kepada empat tahap; siang hari digunakan belajar di sekolah, lalu belajar membuat dan memperbaiki jam bersama orang tuanya hingga petang hari,dan petang hari hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang hafalan Al Qur-an ia lakukan usai shalat Subuh. Dan berhasil! Pada usia 14 tahun Al Banna telah hafal Al Quran 30 juz! Pendidikan formal Al Banna dimulai dengan masuk sekolah dasar (madrasah ibtidaiyah) di desanya pada usia 8 tahun. Ia juga belajar pada ayahnya dan seorang ulama ternama Syekh Mahmud.
Pada usia 12 tahun Al Banna aktif di organisasi keagamaan Jamaah Suluk Akhlaqi yang berorientasi memperbaiki akhlak. Di samping didikan keluarga, organisasi ini berpengaruh besar dalam keperibadian Al Banna dan membentuk keshalihan diri Al Banna. Pendidikan menengahnya diselesaikan dengan menjadi yang terbaik di sekolahnya dan terbaik kelima di seluruh Mesir.
Pendidikan tinggi Al Banna dimulai pada umur 16 tahun di Universiti Darul Ulum, Kaherah. Ia juga menjadi aktivis mahasiswa di organisasi Jam’iyah Makarim Al Akhlaq Al Islamiyah. Ia juga masuk tarikat Ikhwan Al Hashafiyah. Kerana pengalamannya di tarekat ia lalu membuat praktik-praktik tasawuf dalam Ikhwanul Muslimin yang memurnikan ajaran tarikat menjadi hanya berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah saja.
Empat tahun hidup di Kaherah membawa Al Banna pada kesedaran politik. Ia menyedari bahawa sekularisme dan pembaratan sudah meracuni tatanan masyarakat Mesir. Serangan ghazwul fikri (perang pemikiran) dari Barat semakin gencar. Lahirlah kesadaran tentang perlunya ummat Islam bebas dari penjajahan pemikiran Barat tersebut.
Ketika belajar di Kaherah itu, ia sering mempelajari pemikiran reformis Islam seperti Muhammad Abduh, yang merupakan guru ayahnya. Tapi yang membekas dalam pemikiran Al Banna adalah pemikiran Syekh Muhammad Rasyid Ridha. Ia mulai mengikuti jejak Syekh Ridha yang cakna pada persoalan menurunnya peradaban Islam. Ia lalu gencar melakukan kempen agar ummat Islam kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah secara murni untuk membangkitkan kembali peradaban Islam. Ia pun mulai mengkritik konservatisme Al Azhar. Di samping itu, Al Banna turut mulai menekankan pentingnya organisasi.
Tahun 1927, pada usia 21 tahun, ia mengajar bahasa Arab di sekolah-sekolah utama di Ismailiyah. Ia pun merasakan dominasi Inggeris terhadap terusan Suez di Ismailiyah. Ia menilai ini adalah penjajahan! Al Banna pun mulai da’wah dengan usaha untuk membangkitkan kaum muslimin Mesir, mulai dari masjid-masjid, kedai-kedai kopi, kelab-kelab, dan rumah-rumah peribadi pesan dasar Al Banna adalah bahawa bangsa Mesir sudah kehilangan jiwanya. Bangsa Mesir harus menghilangkan penguasaan Inggeris dalam bidang politik dan ekonomi kerana bangsa Mesir punya modal kuat iaitu keyakinan pada Allah SWT. Cara membangkitkan bangsa Mesir adalah dengan menerapkan nilai-nilai Islam sebagai pandangan dan pedoman hidup.
Setelah 6 bulan berda’wah, tepatnya bulan Mac1928 di Iskandariyah, Al Banna mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin. Pada mulanya ia hanya memiliki 6 orang pengikut dan sekelompok siswa yang taat pada guru. Tapi kegiatan-kegiatannya terdahulu paling tidak sudah membuahkan sejumlah penyokong. Lalu Ikhwanul Muslimin mempunyai 100 anggota yang dipilih sendiri oleh Al Banna.
Kegiatan-kegiatan Ikhwanul Muslimin antara lain meningkatkan kualiti akhlak dan ibadah anggotanya. Juga banyak kegiatan-kegiatan amal sosial. Pada tahun 1930 cabang-cabang Ikhwanul Muslimin berdiri di tiap wilayah di Mesir. Satu dekad kemudian Ikhwanul Muslimin mempunyai 500, 000 anggota aktif dan banyak simpatisan tersebar di seluruh Mesir. Ikhwanul Muslimin makin berkembang setelah pusatnya dipindahkan Al Banna ke Kaherah pada tahun 1932. Perkembangan pesat ini berkat kepemimpinan ideologi dari Al Banna.
Cara Al Banna yang terinspirasi rekabentuk jam juga semakin memajukan Ikhwanul Muslimin. Oleh rakyat Mesir anggota-anggota Ikhwanul Muslimin dijuluki sufi di malam hari dan singa di siang. Keberadaan Ikhwanul Muslimin dirasakan betul manfaatnya oleh rakyat Mesir. Pengusaha-pengusaha asal Ikhwanul Muslimin banyak membuka lapangan kerja. Klinik-klinik murah bahkan percuma disediakan untuk rakyat miskin. Sekolah-sekolah berkualiti juga didirikan.
Isu-isu yang diangkat Al Banna dan diusahakan jalan keluarnya adalah: penentangan terhadap penjajahan, kesihatan masyarakat, kebijakan pendidikan, pengurusan sumber daya alam, ketidakadilan sosial, dan penentangan terhadap Marxisme, kebangkitan nasionalisme Arab, kelemahan dunia Islam dan berkembangnya konflik di Palestin.
Dengan anggotanya yang dari berbagai kalangan, Ikhwanul Muslimin mulai aktif berpolitik menentang sistem kerajaan Mesir yang didominasi Inggeris (baca: dijajah). Raja Faruk, Raja Mesir, yang semakin takut kepada Ikhwanul Muslimin kemudian berbicara dengan Israel, Inggeris, dan Amerika yang juga takut kepada Ikhwanul Muslimin. Alhasil Raja Faruk menarik sebahagian dari 10,000 sukarelawan Ikhwanul Muslimin dalam perang melawan Israel dan menangkapinya.
Tapi Al Banna tidak ditangkap agar memudahkan usaha pembunuhan terhadapnya. Maka Mahmud Abdul Majid salah seorang perwira Raja Faruk mengutus 5 orang dari pegawai keselamatannya untuk membunuh Al Banna. Persis di depan pusat pusat pemuda Ikhwanul Muslimin pada 12 Februari 1949 M/ 1368 H. Al Banna terluka parah, kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, tetapi pihak pemerintah mengeluarkan perintah yang sangat keras agar pihak rumah sakit membiarkan Al Banna mengucurkan darah sampai mati. Sebuah konspirasi yang kejam!
Akhirnya Al Banna menyerahkan ruhnya untuk kembali ke haribaan Sang Penciptanya dalam keadaan suci, inshaallah, setelah menunaikan amanah-Nya dan dalam keadaan teguh mengangkat bendera agama-Nya sampai nafas terakhir. Kemudian datang empat orang wanita ke jenazah Al Banna bersama ayah kandung Al Banna yang sudah tertatih-tatih kerana usianya yang sangat tua.
Sementara itu bekalan elektrik sengaja diputus di wilayah tersebut. Keempat orang perempuan itu membawa jenazah Al Banna dalam suasana yang sangat menyeramkan, kerana berada di depan muncung barisan tank. Kuburannya dijaga ketat oleh tentera pemerintah kerana ditakutkan para anggota Ikhwan akan mengeluarkan jenazahnya untuk kemudian memprotes dan menuntut pemerintah, serta menjadikan jenazah tersebut barang bukti.
Dengan demikian Raja Faruq merasa tenang kerana Al Banna telah tiada, padahal anak-anak Al Banna yang ditinggalkan tidak mampu membiayai perbelanjaan bulanan mereka, dan juga tidak mampu membayar sewa rumah mereka. Dan, setelah Al Banna meninggal, jutaan rakyat Amerika berkumpul di jalan-jalan dan berpesta merayakannya. Hasan Al Banna meninggal, inshaallah mati syahid pada usia belia 43 tahun. Selamat jalan wahai Syuhada!
April 21, 2008Posted by ummahonline
Oleh: Agung Pribadi
No comments:
Post a Comment
Kalau baik sebarkan kalau keji dan buruk buangkan jauh-jauh jangan amalkan